AGAMA HINDU
A. Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu di
India
Sejarah agama dan
kebudayaan Hindu dimulai dari lahirnya agama ini untuk pertama kalinya di India
sekitar tahun 1500 SM. Kebudayaan Hindu merupakan hasil dari perpaduan antara
kebudayaan bangsa Arya dari Asia Tengah yang telah memasuki India dengan
kebudayaan bangsa Dravida yang merupakan bangsa asli India. Hasil percampuran
itulah yang disebut agama Hindu atau Hinduisme.
Daerah
perkembangan pertama dari kebudayaan Hindu adalah di lembah Sungai Gangga yang
disebut Aryawarta atau negeri orang Arya dan Hindustan yang memiliki arti tanah
milik orang Hindu. Sejak berkembangnya kebudayaan Hindu di India maka lahir
agama Hindu. Dari India, agama Hindu menyebar ke seluruh dunia dan banyak
memengaruhi kebudayaan-kebudayaan di dunia, termasuk Indonesia. Menurut
pendapat para ahli sejarah, berdasarkan temuan berbagai peninggalan sejarah,
diyakini bahwa bekas kota Mahenjo-Daro (Larkana) dan Harappa (Punjab) di lembah
Sungai Indus merupakan tempat timbul dan berkembangnya agama Hindu.
Agama Hindu tumbuh
bersamaan dengan kedatangan bangsa Arya (Indo-
Eropa) ke India kira-kira tahun 1500 SM. Mereka datang melewati celah Kaiber. Celah tersebut terletak di pegunungan Hindu Kush, sebelah barat laut India. Itulah sebabnya celah Kaiber terkenal dengan sebutan "Pintu Gerbang India". Kemudian bangsa Arya mendesak bangsa Dravida dan Munda yang telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Arya akhirnya berhasil menempati daerah celah Kaiber yang sangat subur. Bangsa Dravida mendiami Dataran Tinggi Dekan di India Selatan sedangkan bangsa Munda mendiami daerah-daerah pegunungan.
Eropa) ke India kira-kira tahun 1500 SM. Mereka datang melewati celah Kaiber. Celah tersebut terletak di pegunungan Hindu Kush, sebelah barat laut India. Itulah sebabnya celah Kaiber terkenal dengan sebutan "Pintu Gerbang India". Kemudian bangsa Arya mendesak bangsa Dravida dan Munda yang telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Arya akhirnya berhasil menempati daerah celah Kaiber yang sangat subur. Bangsa Dravida mendiami Dataran Tinggi Dekan di India Selatan sedangkan bangsa Munda mendiami daerah-daerah pegunungan.
Perkembangan agama
Hindu di India berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang. Perkembangan
tersebut dibagi dalam empat periode, yaitu
1. Zaman
Weda (1500SM-600SM)
Zaman weda berawal
dari kedatangan bangsa Arya ke India yang disertai penyebaran kebudayaan dan
peradabannya. Zaman Weda meliputi:
a.
Zaman Weda Kuno
Zaman Weda
Kuno diawali dengan datangnya bangsa Arya yang tergolong ras Indo Eropa sekitar
±1500 tahun SM. Bangsa Arya dikenal sebgai bangsa yang tangguh, terampil dan
merupakan seorang pengembara yang cerdas. Bangsa Arya menempati lembah sungai
Sindhu yang juga dikenal dengan nama Punjab (daerah aliran lima sungai), disini
juga ditemukan peninggalan kota Harapa dan Mohenjo-Daro yang merupakan
peradaban tertua di lembah sungai tersebut.
Penulisan
wahyu suci Weda yang pertama (Reg Weda)
terjadi pada zaman yang juga disebut zaman Weda duluan. Pembacaan dan perapalan
ayat-ayat Weda secara oral (Srawana) yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan
bersama-sama secara berkelompok banyak ditekankan dalam kehidupan beragama
zaman Weda Kuno. Penulisan dan penghimpunan Kitab Sama Weda, Yayur Weda dan
Atharwa Weda dilakukan pada masa selanjutnya, yang disebut zaman Weda
belakangan. Masa penulisan ketiga kitab tersebut berjarak jauh dari penulisan
kitab Reg Weda, hal ini dilihat dari gaya bahasa, nama-nama daerah, tumbuh-tumbuhan,
dan binatang sudah banyak disebutkan dalam ketiga kitab tersebut. Diperkirakan
Reg Weda ditulis pada saat bangsa Arya masih menetap di lembah sungai Sindhu,
sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis setelah bangsa Arya mulai menyebar ke
daerah lain di India.
b.
Zaman Brahmana
Zaman
Brahmana merupakan zaman penulisan kitab Brahmana yang dilakukan oleh bangsa
Arya yang telah bermukim di bagian Timur India Utara atau di lembah sungai
Gangga. Kata Brahma memiliki arti doa, sehingga kitab Brahmana merupakan kitab
yang berisi doa-doa serta penjelasan upacara Yadnya dan kewajiban-kewajiban
keagamaan. Kitab Brahmana merupakan bagian dari kitab Weda, yang disusun dalam
bentuk prosa.
Pada zaman
ini Upacara Yadnya dipandang sebagai bagian paling penting dalam agama,
sehingga peranan Brahmana yang merupakan pimpinan upacara menjadi semakin
menonjol, hal ini menyebabkan Brahmana merasa sebagai kelompok masyarakat yang
paling tinggi kedudukannya. Dari hal inilah timbul kepincangan dalam pranata
sosial. Keempat Warna yang merupakan pengelompokan masyarakat berdasarkan bakat
dan profesi sesuai dalam kitab Weda, berubah menjadi sistem kasta. Keempat
kasta tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Brahmana
Golongan Brahmana
terdiri dari para pendeta, orang suci, pemuka agama, dan rohaniawan. Merupakan
kasta tertinggi. Bertugas dalam menjalankan upacara-upacara keagamaan.
2)
Ksatria
Golongan ksatria
terdiri dari raja, patih, menteri-menteri, adipati, pejabat negara, prajurit,
dll. Kasta ini bertugas dalam sistem pemerintahan.
3)
Waisya
Golongan Waisya
terdiri dari rakyat jelata, merupakan para pekerja bidang ekonomi, misalnya
petani, pedagang, dll.
4)
Sudra
Golongan Sudra
terdiri dari para pembantu tiga golongan di atas. Merupakan kasta dari golongan
terendah.
c.
Zaman Upanisad
Zaman
ini ditandai dengan adanya kitab Upanisad. Kitab Upanisad merupakan bagian dan Jnana Kanda dan
kitab Veda Sruti yang isinya bersifat ilmiah, spekulatif, tetapi tetap dalam
ruang lingkup keagamaan. Pada umumnya kitab-kitab Upanisad berisi tentang
hakekat Brahman, Atman, Hubungan antara Brahman dan Atman, Hakekat Maya,
Hakekat Vidya dan Avidya, serta mengenai moksa atau kelepasan. Pada
zaman ini lebih menekankan pada pembahasan rohaniah dengan menitik beratkan
pada pendalaman filsafat.
Ciri
lain zaman ini adalah munculnya berbagai aliran filsafat keagamaan yang
dikelompokkan dalam dua kelompok besar , yaitu kelompok Astika dan kelompok
Nastika. Kelompok Astika meliputi enam filsafat keagamaan yang disebut Sad
Darsana, antara lain Samkya, Yoga, Mimamsa, Waisesika, Niaya dan Wedanta.
Sedangkan kelompok Nastika meliputi Buddha, Jaina, dan Carwaka.
2. Zaman
Wira Carita (600SM-200SM)
Zaman ini
merupakan zaman perkembangan kitab-kitab Upanisad dan perkembangan sistem
filsafat selanjutnya. Pada zaman ini juga muncul konsepsi baru yang mengajarkan
tentang nilai-nilai kepahlawanan dan kebenaran dalam bentuk kita Wira Carita
Ramayana dan Mahabarata. Ciri lain dari zaman ini adalah timbulnya banyak
pemikir dan filosof yang mengembangkan ajaran filsafat dengan berbagai macam
aliran.
3. Zaman
Sutra
Ciri dari
zaman Sutra adalah munculnya kitab-kitab yang memuat penjelasan, uraian dan
komentar-komentar terhadap kitab Weda dan mantra-mantra dalam bentuk prosa dalam
bentuk singkat, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam penghafalan dan
penggunaan sebagai buku pegangan. Selain itu muncul Kalpasutra yang membahas
tentang upacara Yadnya atau tata cara dalam melaksanakan upacara korban suci.
Pada zaman ini juga muncul Dharma Sutra yaitu sutra-sutra yang membahas tentang
pengertian dharma, meliputi tugas dan kewajiban umat manusia seperti yang telah
dijabarkan dalam kitab Weda dan juga sutra-sutra yang menjadi sumber sistem
filsafat yang timbul kemudian.
4.
Zaman Scholastik
Zaman ini
mempunyai hubungan erat dengan zaman Sutra. Ditandai dengan adanya
pemikir-pemikir besar, seperti Sankara, Ramanuja dan Madhwa yang menulis
kembali ajaran-ajaran sebelumnya. Penulisan ini dilakukan dengan menyusun dan
memberi interpretasi dan pengembangan-pengembangan baru, seperti pada ajaran
Adwaita, Wisitadwaita, Dwaita, sistem Saiwa, Sidhanta, Pratyabhijna, ajaran
Sakti, dan lainnya.
Pemeluk agama
Hindu mengenal tiga dewa tertinggi yang disebut Trimurti, yakni Brahma (dewa
pencipta), Wisnu (dewa pelindung), dan Syiwa (dewa perusak). Dewa-dewi lainnya
antara lain : Agni (dewa api), Bayu (dewa angin), Surya (dewa matahari), Candra
(dewa bulan), Indra (dewa perang), Saraswati (dewi pengetahuan dan seni),
Lakshmi (dewi keberuntungan), dan Ganesha (dewa pengetahuan dan penolong).
Sumber ajaran Hindu adalah kitabWeda, yang bermakna pengetahuan Hindu.
B. Perkembangan Agama Hindu di Luar India
1. Perkembangan
Agama Hindu di Indonesia
Masuknya
agama Hindu ke Indonesia dapat dibuktikan dengan berbagai peninggalan Hindu yang
tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Berbagai teori melatarbelakangi masuknya
agama Hindu di Indonesia, antara lain teori Brahmana, dalam teori ini
dijabarkan bahwa Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh para Brahmana. Kedua adalah
teori Ksatriya yang berpendapat bahwa peranan kaum ksatria sangat besar dalam
proses masuknya agama Hindu ke Indonesia. Ketiga adalah teori Waisya, masuknya
Hindu dibawa oleh para pedagang yang notabenenya memiliki banyak kontak dengan
penduduk Indonesia sehingga selain berdagang mereka bisa menyebarkan pengaruh agama
Hindu di kalangan penduduk asli Indonesia.
Bersamaan dengan berkembangnya pengaruh
agama Hindu ke seluruh dunia termasuk indonesia, terjadilah akulturasi antara
kebudayaan asli indonesia dan kebudayaan india yang dijiwai oleh agama hindu.
Pengaruh agama hindu. Dapat diterima oleh bangsa indonesia dengan damai. Dengan
demikian, perkembangan agama hindu di indonesia menjadi subur dan bervariasi, sebagaimana
bukti-bukti yang ada dan kita ketahui, seperti berikut.
a.
Kutai
Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti
sejarah tertua. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman,
Kalimantan Timur, tepatnya
di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai
diambil. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat
ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut.
Tidak ada prasasti
yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit
informasi yang dapat diperoleh. Informasi yang ada
diperoleh dari Yupa / prasasti dalam
upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber
utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari
salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai
saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat
dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman
dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari
cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang
datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
Aswawarman mungkin
adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui
sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang
artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah
satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman
adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman,
Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir
seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai
seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan
pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.
Kerajaan Kutai
berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam
peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat
bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan
Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai
Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara
selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli
sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh
dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga
telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kata
Warman berasal dari bahasa Sangsekerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran
nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.
b.
Kalimantan
Selatan
1)
Kerajaan
Tanjung Puri
Sekitar abad ke 5-5 M di kalimantan
selatan telah berdiri kerajaan tanjung puri sebagai pusat kolonisasi
orang-orang Melayu yang berasal dari kerajaan sriwijaya. Kerajaan tanjung puri
merupakan kerajaan tertua di kalimantan selatan. Kerajaan ini letaknya cukup
strategis yaitu di Kaki Pegunungan Meratus dan di tepi sungai besar sehingga di
kemudian hari menjadi bandar yang cukup maju. Kerajaan Tanjung Puri bisa juga
disebut Kerajaan Kahuripan, yang cukup dikenal sebagai wadah pertama hibridasi,
yaitu percampuran antarsuku dengan segala komponennya. Setelah itu berdiri
kerajaan Negara Dipa yang dibangun perantau dari Jawa.
Pada abad ke 14 muncul Kerajaan Negara
Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan Jawa akibat pendangkalan sungai di
wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan dari Jawa menghancurkan Kerajaan Dipa ini.
Untuk menyelamatkan, dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera naik
tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir, yaitu ke arah laut di
Muhara Rampiau. Negara Dipa terhindar dari kehancuran total, bahkan dapat
menata diri menjadi besar dengan nama Negara Daha dengan raja sebagai pemimpin
utama. Negara Daha pada akhirnya mengalami kemunduran dengan munculnya
perebutan kekuasaan yang berlangsung sejak Pangeran Samudra mengangkat senjata
dari arah muara, selain juga mendirikan rumah bagi para patih yang berada di
muara tersebut.
Pemimpin utama para patih bernama MASIH.
Sementara tempat tinggal para MASIH dinamakan BANDARMASIH.
Raden Samudra mendirikan istana di tepi sungai Kuwin untuk para patih MASIH
tersebut. Kota ini kelak dinamakan BANJARMASIN, yaitu
yang berasal dari kata BANDARMASIH.
Kerajaan Banjarmasin berkembang menjadi
kerajaan maritim utama sampai akhir abad 18. Sejarah berubah ketika Belanda
menghancurkan keraton Banjar tahun 1612 oleh para raja Banjarmasin saat itu
panembahan Marhum, pusat kerajaan dipindah ke Kayu Tangi, yang sekarang dikenal
dengan kota Martapura.
2) Kerajaan Negara Dipa
Kerajaan Negara
Dipa adalah kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Kerajaan ini
adalah pendahulu Kerajaan Negara Daha. Kerajaan Negara Daha terbentuk karena
perpindahan ibukota kerajaan dari Amuntai (ibukota Negara-Dipa di hulu) ke
Muhara Hulak (di hilir). Sejak masa pemerintahan Lambu Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung
Silat sampai Tanjung Puting.
Kerajaan Negara
Dipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut Sakai, yang masing-masing
dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah
pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada
masa Kesultanan Banjar. Salah satu negeri bawahan Kuripan adalah Negara Dipa.
Menurut Hikayat
Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan Ampu Jatmika yang
berasal dari Keling. Menurut Veerbek
(1889:10) Keling, propinsi Majapahit di barat daya Kediri. Menurut Paul
Michel Munos dalam bukunya yang berjudul Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia
dan Senanjung Malaysia, pada hal 401 dan 435, Empu Jamatka (maksudnya
Ampu Jatmika) mendirikan pada tahun 1387, dia berasal dari Majapahit. Diduga Ampu
Jatmika menjabat sebagai Sakai di Negara Dipa (situs Candi Laras, Margasari). Ampu Jatmika
bukanlah keturunan bangsawan dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi
kemudian dia berhasil menggantikan kedudukan raja Kuripan sebagai penguasa
Kerajaan Kuripan yang wilayahnya lebih luas tersebut, tetapi walau demikian
Ampu Jatmika tidak menyebut dirinya sebagai raja, tetapi hanya sebagai Penjabat
Raja (pemangku). Penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat)
setelah bertapa di sungai berhasil memperoleh Putri Junjung Buih yang kemudian
dijadikan Raja Putri di Negara Dipa. Raja Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai
jodoh bagi seorang Pangeran yang sengaja dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar
Pangeran Suryanata I. Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan mereka berdua
inilah yang kelak sebagai raja-raja di Negara Dipa.
Menurut Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan
Negara Dipa. Karena raja Kerajaan
Kahuripan menyayangi Empu Jatmika sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua
dan mangkat kemudian seluruh wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai
Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang didiami oleh Empu Jatmika. (Fudiat
Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984)
Kerajaan Negara
Dipa semula beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir
sungai Bahan tepatnya pada suatu anak sungai Bahan, kemudian ibukotanya pindah
ke hulu sungai Bahan yaitu Candi Agung (Amuntai), kemudian Ampu Jatmika menggantikan
kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa memiliki
keturunan, sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa.
Ibukota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di
sekitar hulu sungai Bahan (= sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai
Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak
sungai Negara). Kerajaan ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya.
3)
Kerajaan
Negara Daha
Kerajaan ini tidak ada hubungannya dengan
Kerajaan Daha di Jawa, yang lebih dikenal sebagai Kerajaan Janggala. Kerajaan
Negara Daha adalah sebuah kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Kalimantan
Selatan. Pusat ibukota kerajaan ini berada di kota Negara (kecamatan Daha
Selatan, Hulu Sungai Selatan). Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Negara Dipa.
c.
Jawa Barat
(Kerajaan Tarumanegara)
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan
tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah
dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat
itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Prasasti yang ditemukan
· Prasasti Kebon Kopi,
dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan
Rig, Ciampea, Bogor
· Prasasti
Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu,
Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh
Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22
masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk
menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa
pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
· Prasasti Cidanghiyang
atau Prasasti Munjul, ditemukan
di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja
Purnawarman.
d.
Jawa Tengah
Suburnya perkembangan
agama hindu di jawa tengah dapat kita ketahui dari ditemukannya prasasti
tukmas. Prasasti ini ditulis dengan
huruf pallawa dan berbahasa sanskerta dengan tipe tulisan berasal dari tahun
650 masehi. Prasasti tukmas memuat gambar-gambar atribut: dewa tri murti,
seperti trisula lambang dewa siwa, kendi lambang dewa brahma, dan cakra lambang
dewa wisnu. Prasasti ini juga menjelaskan adanya sumber mata air yang jernih
dan bersih yang dapat disamakan dengan sungai gangga.
Sumber berita Cina berasal dari masa pemerintahan dinasti Tang tahun 618-696 Masehi. Dari berita Cina dapat diketahui di jawa tengan telah berdiri
kerajaan Kaling yang pada
tahun 674 masehi diperintah oleh raja perempuan bernama Ratu Sima yang memiliki sistem pemerintahan sangat jujur. Dikatakan Ratu sima secara sengaja menaruh kantong
berisi emas di tengah jalan dan tidak seorang pun berani menyentuhnya. Dalam
kurun waktu 3 tahun secara kebetulan, kantong tersebut disentuh oleh kaki
putranya. Hukuman mati dijatuhkan kepada putranya itu, namun setelah abdinya
mengajukan permohonan hukuman potong kaki untuk putranya pun dilaksanakan.
Selanjutnya menurut prasati canggal yang berangka tahun 732 Masehi menyebutkan bahwa Raja Sanjaya mendirikan lingga sebagai tempat pemujaan Siwa bertempat di sebuah bukit Kunjarakunja. Di gunung Wukir terdapat candi induk dengan 3 buah
candi perwara. Di dalam candi
induk terdapat yoni sebagai alas lingga. Raja Sanjaya adalah putra raja Sanaha, saudara perempuan dari ratu Sima. Sanjaya adalah pendiri kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Berdasarkan penuturan sejarah Jawa tengah tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa pada masa
pemerintahan raja-raja masa itu telah berkambang ajaran agama Hindu dengan baik.
e.
Jawa
Timur
Keberadaan kerajaan Kanjuruan dapat kita pergunakan sebagai salah satu
landasan untuk mengetahui perkembangan agama Hindu di Jawa Timur. Prasasti Dinoyo merupakan bukti peninggalan sejarah
kerajaan Kanjuruan. Prasasti
ini banyak membicarakan perkembangan agama Hindu di Jawa Timur. Prasasti Dinoyo ditulis mempergunakan huruf Kawi dengan bahasa Sanskerta menuliskan angka tahun 760 Masehi. Dikisahkan bahwa pada abad ke-8 M
raja di Kanjuruan bernama Simha. Beliau memiliki putra yang bernama Limwa, setelah menggantikan ayahnya sebagai raja,
beliau bergelar Gajayana.
Raja Gajayana mendirikan
sebuah tempat pemujaan untuk memuliakan Maharsi Agastya. Arca Maharsi Agastya pada mulanya terbuat dari kayu cendana,
kemudian diganti dengan arca batu hitam.
Peresmian arca Maharsi Agastya dilaksanakan pada tahun 760 M. Pelaksanaan upacaranya dipimpin oleh
para pendeta ahli weda. Pada saat itu pula, raja Gajayana dikisahkan menghadiahkan tanah, lembu, dan
bangunan untuk para brahmana dan para tamu. Dinyatakan bahwa salah satu bentuk
bangunan itu berasal dari zaman kerajaan Kanjuruan adalah candi Badut. Di dalam prasasti Dinoyo juga dituliskan tentang perjalanan Maharsi Agastya dari India menuju Indonesia untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Hindu.
Selanjutnya, perkembangan agama Hindu di Jawa Timur dapat kita ketahui dari berdirinya dinasti Isyanawamca yang berkuasa tahun 929-947 Masehi.
Dinasti in diperintahkan oleh Mpu sendok, yang mempergunakan gelar ”sri
maharaja takehino sri isyana wikramadharmotunggadewa”. Mpu sendok digantikan
oleh anak permpuannya yan bernama sri isyana tunggawijaya. Isyana tunggawijaya
berarti raja yang yang menuliskan pemujaan ke hadapan dewa siwa. Setelah
kekuasaan isyana tunggawijaya berakhir, pengganti selanjutnya adalah
makutawangsawardana yang mempunyai seorang putri bernama mahendradatta.
Mahendradatta bersuamikan raja udayana dari bali. Pengganti makutawangsawardana
adalah dharmawangsa. Setelah dharmawangsa, kekuasaan dilanjutkan oleh
airlangga. Raja airlangga dinobatkan sebagai pengganti raja dharmawangsa yang
memerintah sampai tahun 1019 Masehi. Beliau bergelar ”sri maharaja rake halu
sri lokeswara dharmawangsa airlangga anantawikramottungga dewa” yang dinobatkan
oleh pendeta siwa dan budha. Raja airlangga setelah mengundurkan diri dari
tahtanya, beliau wafat tahun 1049 Masehi dan dimakamkan di candi belahan.
Airlangga diwujudkan sebagai dewa wisnu dengan arca wisnu duduk di atas garuda.
Banyak karya sastra bernapaskan ajaran
agama hindu diterbitkan pada masa pemerintahan raja dharmawangsa, antara lain
kitab purwadigama yang bersumber pada kitab manawa dharmasastra. Kitab negara
kertagama, arjuna wiwaha, sutasoma, dan yang lainnya muncul pada masa kerajaan
majapahit. Pada zaman ini juga dibangun berbagai macam candi, seperti candi
penataran di blitar. Berdasarkan petunjuk peninggalan sejarah seperti tersebut
di atas dapat dinyatakan bahwa perkembangan agama hindu di jawa timur sangat
subur dan harmonis.
f.
Bali
Keberadaan agama hindu di bali merupakan
kelanjutan dari agama hindu yang berkembang di jawa. Agama hindu yang datang ke
bali disertai oleh agama buddha. Dalam perkembangannya, kedua agama tersebut
berakulturasi dengan harmonis dan damai. Kejadian ini sering disebut dengan
sinkritisme siwa – buddha. Sebelum pengaruh hindu berkembang di bali, masyarakat
telah mengenal sistem kepercayaan dan pemujaan seperti berikut.
a. Kepercayaan kepada gunung
sebagai tempat suci.
b. Sistem kubur yang mempergunakan sarkofagus (peti mayat).
c. Kepercayaan adanya alam sekala dan niskala.
d. Kepercayaan adanya penjelmaan (punarbawa).
e. Kepercayaan bahwa roh nenek moyang orang bersangkutan dapat setiap saat
memberikan perlindungan, petunjuk, sinar, dan tuntunan rohani kepada
generasinya.
Demikianlah, sistem kepercayaan masyarakat bali
sebelum pengaruh ajaran hindu datang ke bali. Sistem kepercayaan masyarakat
bali tampak memiliki pola sangat sederhana. Setelah datangnya maharsi
markhandeya di bali, pola kepercayaan yang sederhana itu kembali disempurnakan.
Keterangan tentang maharsi markandeya menyebarkan pengaruh hindu di bali dapat
diketahui melalui kitab makhandeya purana. Kitab tersebut menyatakan bahwa
untuk pertama kalinya pengaruh hindu di bali disebarkan oleh maharsi
markandeya. Beliau datang ke bali diperkirakan sekitar abad 4-5 Masehi melalui
gunung semeru (Jawa Timur) menuju daerah gunung agung (tolangkir) dengan tujuan
hendak membangun asrama atau penataran. Kedatangan beliau untuk pertama kalinya
diikuti oleh 400 orang pengiring, namun dikisahkan kurang berhasil. Setelah
pulang ke jawa, beliau kembali datang ke bali dengan pengiring sebanyak 2000
orang. Kedatangan beliau yang ke dua ini berhasil menanam panca datu di kaki
gunung agung (besakih) sekarang. Di tempat inilah sekarang, pura besakih
berdiri.
Selanjutnya dikisahkan bahwa maharsi markandeya
berkehendak merambas hutan untuk dijadikan sawah guna meningkatkan
kesejahteraan para pengiringnya. Hutan yang dirambas itu bernama desa sarwada
sekarang bernama desa taro. Di desa sarwada inilah beliau mendirikan tempat
suci yang bernam pura desa taro. Pada tempat suci, ini beliau meninggalkan
sebuah prasasti yang isinya mengisahkan kebesaran jiwa maharsi markandeya.
Selam menetap di bali, maharsi markandeya secara berangsur-angsur mulai
meningkatkan kepercayaan masyarakat bali.
g.
Nusa
Tenggara Barat
Perkembangan agama hindu di nusa tenggara
barat ( lombok) dapat kita ketahui dari perjalanan suci (dharmayatra) dang
hyang nirartha. Di lombok, beliau dikenal dengan sebutan pangeran sangupati.
Banyak peninggalan tempat suci dan sastra hindu yang dapat kita pergunakan sebagai
refrensi bahwa hindu pada masa itu telah berkembang sampai di nusa tenggara
barat. Keberadaan agama hindu di NTB juga tidak lepas dari peran serta
kekuasaan raja-raja karangasem pada masa itu.
Masyarakat sumbawa sampai saat ini masih
mengenal sebutan tuan semeru. Nama tuan semeru adalah sebutan untuk dang hyang
nirartha. Hal ini memberikan indikasi bahwa beliau pernah menyebarkan ajaran
hindu ke daerah ini. Sekarang, keberadaan agama hindu di daerah ini
dikembangkan kembali oleh transmigrasi asal bali.
Prasasti bendosari yang berangka tahun
1272 saka memuat kata-kata bhairawa, sora, dan budha. Prasasti ini diperkirakan
sudah ada pada masa pemerintahan raja hayam wuruk di jawa. Hal ini memberikan
indikasi bahwa raja hayam wuruk juga sebagai pemuja sakti, surya, dan buddha.
R. Goris dalam bukunya sekte-sekte di bali menyebutkan bahwa agama hindu
berkembang di bali dengan berbagai sekte. Disebutkan ada sembilan sekte yang
mendominasi, antara lain sekte siwa
siddhanata-pacupata-bhairawa-wesanawa-bodha/sogata-brahma-rsi-sora, dan
ganesha. Keberadaan berbagai sekte tersebut sampai sekarang masih hidup dan
berkembang serta lulu menyatu menjadi siwa-siddhanta.
2. Perkembangan
Agama Hindu di Tempat Lain
Beberapa bukti peninggalan sejarah dan kepercayaan
masyarakat dunia dapat kita pergunakan sebagai dasar untuk menyatakan dan
mempelajari bahwa agama Hindu pernah berkembang di negara-negara lain selain
India antara lain sebagai berikut.
a. Afghanistan
Di Afghanistan telah ditemukan arca Ganesa dari abad ke-5 M yang ditemukan di Gardez, Afghanistan sekarang (Dargah Pir Rattan Nath,
Kabul). Pada arca tersebut terdapat tulisan ’Besar dan Citra Indah Mahavinayaka’’ disucikan oleh Shahi Raja Khingala.
Arca Ganesa tersebut menunjukkan bahwa agama Hindu merupakan agama yang dianut oleh masyarakat di
Afghanistan pada abad ke-5 hingga abad ke-7.
Di Kampuchea saat ini terdapat taman wisata
arkeologis angkor wat, yaitu kompleks kuil-kuil yang terdiri dari angkor wat,
bayon, dan banteay srey. Angkor Wat merupakan candi Hindu yang dibangun sebagai
penghormatan kepada Dewa Wisnu dan sebagai simbol kosmologi hindu. Angkor
pernah menjadi kota suci tujuan para peziarah dari seluruh kawasan asia
tenggara.
b. Filipina
Bukti-bukti pengaruh Hindu di Filipina, yaitu
dengan ditemukannya prasasti tembaga laguna atau disebut juga keping tembaga
laguna. Prasasti tembaga laguna adalah dokumen tertulis pertama ditemukan dalam
bahasa filipina. Piring itu ditemukan pada tahun 1989 oleh E. Alfredo
Evangelista di laguna de Bay, di Metroplex, Manila, filipina. Prasasti tersebut
bertuliskan tahun 822 saka. Dalam prasasti tersebut terdapat banyak kata dari
bahasa sanskerta, jawa kuno, Malaya Kuno, dan Bahasa Tagalog Kuno.
c. Mesir (Afrika)
Sebuah prasasti dalam bentuk inskripsi yang
berhasil digali di Mesir berangka tahun
1280 SM. Isinya memuat perjanjian antara Raja Ramses II dan bangsa Hittite. Dalam perjanjian yang
dilaksanakan oleh Raja Ramses II dengan bangsa Hittite tersebut, Mattravaruna
sebagai dewa kembar dalam Weda telah dinyatakan sebagai saksi (H.R. hal
’’ancient history of the new east’’, hal 364). Maitravaruna adalah sebutan dari
Tuhan Yang Maha Esa dalam konsep ke-Tuhanan agama Hindu. Raja-raja Mesir di
zaman purbakala mempergunakan nama-nama, seperti Ramses I, Ramses II, Ramses
II, dan seterusnya. Kata Ramses
mengingatkan kita kepada Rama yang terdapat dalam kitab Ramayana. Rama, oleh
umat Hindu diyakini sebagai penjelmaan atau awatara Dewa Wisnu, yaitu
manifestasi dari Tuhan sebagai pemelihara, Wisnulah yang menyelamatkan dunia
ini dari ancaman keangkaramurkaan.
d. Meksiko
Meksiko terbilang negeri yang sangat jauh dari
india. Masyarakat negeri ini dikatakan telah trbiasa merayakan sebuah hari raya
pestaria yang disebut dengan hari Rama-Sita. Waktu hari pestaria ini memiliki
hubungan erat dengan waktu hari suci Dussara atau Navaratri dalam agama hindu.
Penggalian-penggalian peninggalan bersejarah yang dilakukan di negeri Meksiko
telah menghasilkan penemuan beberapa patung ganesa ( baron humbolt dan harlas
sanda ’’hindu superiority’’, hal 151). Penduduk zaman purbakala yang ada di daerah-daerah
’’Meksiko’’ adalah orang-orang Astika, yaitu orang-orang yang percaya dengan
keberadaan weda-weda. Kata astika adalah sebuah istilah yang saat ini masih
dipergunakan oleh masyarakat Meksiko sebagai salah ucapan dari kata Aztec.
Festival Rama-Sita yang dirayakan oleh masyarakat
Meksiko dapat disamakan dengan percaya hari dussara atau Navaratri. Penemuan
patung ganesa kita hubungkan dengan arca ganesa sebagai putra dewa siwa dalam
mitologi Hindu. Masyarakat Astika adalah suku bangsa Astec itu sendiri yang
kebanyakan di antara mereka memiliki kepercayaan memuja dewa siwa.
e. Peru
Di sebelah barat-daya amerika latin terdapat negeri
yang disebut dengan peru. Penduduknya melakukan pemujaan trhadap dewa matahari.
Hari-hari raya tahunan masyarakat ini jatuh pada hari-hari Soltis. Masyarakat
negeri peru dikenal dengan bangsa Inca. Kata Inca berasal dari kata Ina yang berarti Matahari.
Soltis jatuh pada tanggal 21 Juni dan 22 Desember, yaitu pada hari-hari ketika matahari telah
sampai pada titik deklanasinya di sebelah selatan dan di sebelah utara untuk
kembali lagi pada peredarannya. Sebagaimana biasa mulai tanggal 21 Juni matahari ada di titik bumi belahan utara ’Utarayana’, waktu yang dipandang baik untuk melaksanakan
upacara yang berkaitan dengan Dewa Yadnya. Tanggal 22 Desember matahari berada di titik bumi belahan selatan
’Daksinayana’ saat waktu itu
dipandang baik untuk melaksanakan upacara yang berhubungan dengan Bhuta Yadnya.
Dewa matahari menurut keyakinan umat Hindu Indonesia ’Bali’ disebut Siwa Raditya/surya/matahari. Pemujaan kehadapan dewa matahari ’Surya Raditya’ terbiasa dilakukan oleh umat Hindu kita, sebagaimana juga dilaksanakan oleh
bangsa Inca di Peru.
f. Kota Kalifornia
Kalifornia adalah sebuah kota yang terdapat di Amerika Serikat. Nama kota ini diperkirakan memiliki hubungan
dengan kata Kapila Aranya. Di kota Kalifornia terdapat Cagar Alam Taman Gunung Abu ’Ash Mountain Park’ dan sebuah Pulau Kuda ’Horse Island’ di Alaska, Amerika Utara.
Kita mengenal kisah dalam Kitab Purana tentang keberadaan Raja Sagara dan enam puluh ribu putra-putranya yang dibakar habis hingga
menjadi abu oleh Maharsi Kapila. Raja Sagara memerintahkan putra-putranya untuk menggali bumi
menuju ke patala-loka dalam rangka kepergian mereka mencari kuda untuk
persembahan. Oleh putra-putra Raja Sagara, kuda yang di cari itu diketemukan di lokasi Maharsi Kapila sedang mengadakan tapa brata. Oleh karena
kedatangan para putranya mengganggu proses tapa brata beliau, akhirnya Maharsi Kapila memandang putra-putra raja itu dengan pandangan
amarah sampai mereka musnah menjadi abu.
Kata patala-loka memiliki arti negeri di balik India, yaitu benua Amerika. Kata kalifornia memili kedekatan dengan kata
kapila aranya. Kondisi ini memungkinkan sekali karena secara nyata dapat kita
ketahui bahwa di Amerika terdapat
cagar alam taman gunung abu yang kemungkinan sekali berasal dari abunya
putra-putra Raja Sagara yang berjumlah enam puluh ribu dan nama Pulau Kuda yang
diambil dari nama kuda persembahan Raja Sagara.
g. Australia
Penduduk negeri kanguru ini memiliki jenis tarian tradisional
yang disebut dengan Siwa Dance atau Tarian Siwa. Siwa Dance adalah semacam tarian yang berlaku di
antara penduduk asli Australia (Spencer dan Gillen, The Native of Central
Australia, halaman 621. Macmillan, 1899). Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa
para penari ‘Siwa Dance’ menghiasi dahinya dengan hiasan mata yang ketiga. Hal
ini merupakan suatu bukti yang dapat dijadikan sumber memberikan informasi
kepada kita bahwa penduduk asli negeri kanguru ‘Australia’ ini telah mengenal
atau mendengar dongeng-dongeng weda dan nama-nama dewa dalam kitab suci weda.
C. Keyakinan Dalam Agama Hindu
Hindu
seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja
banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa
bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya.
Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya
ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang
memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam
Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan
keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
- Widhi Tattwa (Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya)
Widhi Tattwa merupakan konsep kepercayaan terdapat Tuhan yang Maha Esa dalam pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan dalam kitab Weda, Tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat tersebut tidak mengakui bahwa dewa-dewi merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan. - Atma Tattwa (Percaya dengan adanya jiwa
dalam setiap makhluk)
Atma tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk hidup. Dalam ajaran Hinduisme, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup merupakan percikan yang berasal dari Tuhan dan disebut Atman. Jivatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang bersifat maya, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang sesungguhnya. Keadaan itu disebut Awidya. Hal tersebut mengakibatkan Jiwatma mengalami proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi tersebut dapat diakhiri apabila Jivatma mencapai moksa. - Karmaphala Tattwa (Percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan)
Agama
Hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala (karma=perbuatan;
phala=buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran
Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk.
Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi,
karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka)
disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan
pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani
kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan
nasib yang akan ia jalani sementara Tuhan yang
menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah
reinkarnasi)
- Punarbhawa Tattwa (Percaya dengan adanya proses kelahiran kembali /reinkarnasi)
Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksa) - Moksa Tattwa (Percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia)
Dalam
keyakinan umat Hindu, Moksa
merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa sangat tenang dan menikmati
kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi oleh berbagai macam
nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan Moksa, jiwa terlepas
dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati suka-duka di
dunia. Oleh karena itu, Moksa menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh umat
Hindu.
Empat macam Moksha /
kebebasan:
1.
Samipya Moksa
Kebebasan yang
dicapai semasih hidup oleh para Resi sehingga mampu menerima wahyu dari Tuhan.
2.
Sarupya/Sadarmmya
Kebebasan yang
diperoleh semasih hidup seperti Awatara Sri Kresna, Budha Gautama.
3.
Salokya/karma Mukti
Kebebasan yang
dicapai oleh Atman itu sendiri telah berada dalam posisi sama dengan Tuhan
tetapi belum dapat bersatu dengan Tuhan.
4.
Sayujya/Purna Mukti
Kebebasan yang
tertinggi dan sempurna sehingga dapat menyatu dengan Tuhan
D. Konsep ketuhanan Dalam Agama Hindu
Agama Hindu
merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan
bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di
dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama
Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme,
politeisme,
dan bahkan ateisme.
Konsep ketuhanan
yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita
Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme,
monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak
tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para
sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.
1. Monoteisme
Dalam
agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme.
Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita
Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya konsep
ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat
segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan
sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak
berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman
berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal
mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam
semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali.
Dalam
buku Njoman S. Pendit yang berjudul Aspek-Aspek Agama Kita yang merupakan terjemahan
dari buku Aspects of Our Religion, pada halaman 56 tertulis,
Kita tidak mempunyai banyak Dewa.
Sesunguhnya kita berpikir tentang Tuhan dengan banyak jalan dan menyembah Dia
dalam banyak bentuk. Kita beri nama terpisah-pisah kepada masing-masing bentuk
ini untuk membantu kita di dalam menjalankan sembahyang dan renungan. Dia
adalah Tuhan, yang dibayangkan menjadi tiga, kemudian sebagai tiga puluh tiga,
dan kemudian lagi sebagai tiga puluh tiga karor (satu karor = sepuluh juta,
nps), yang berarti suatu ketidak terbatasan bentuk-bentuk, dimana Yang Maha Esa
dapat memanifestasikan diri-Nya, dan dipuja menurut selera dan
kapasitas-kapasitas pemuja-Nya, dan menurut variasi fungsi yang tidak terhitung
jumlahnya dari Kemahasucian-Nya. Bentuk-Nya mungkin berbeda, nama-Nya mungkin
berbeda, tapi Kebenaran Yang Terakhir adalah Kemahasucian, yaitu Yang Maha Esa.
Kutipan
dari buku tersebut menunjukkan tentang adanya
konsep monoteisme dalam ajaran agama Hindu. Walaupun penganut Hindu
menyembah banyak Dewa, namun hal tersebut dianggap sebagai manifestasi dari
Tuhan itu sendiri. Tuhan disebut dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya
yang maha kuasa, kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti
misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati,
dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida
Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.
2. Panteisme
Dalam
salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah panteisme.
Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat tinggal
tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan
terdapat dalam setiap benda apapun, ibarat garam pada air laut. Dalam agama
Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab
Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa
wujud tertentu, beliau tidak berada di surga ataupun di
dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.
3. Ateisme
Agama
Hindu diduga memiliki konsep ateisme (terdapat dalam ajaran Samkhya) yang
dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari Barat. Samkhya merupakan
ajaran filsafat tertua dalam agama Hindu yang diduga mengandung sifat ateisme. Filsafat
Samkhya dianggap tidak pernah membicarakan Tuhan dan terciptanya dunia beserta
isinya bukan karena Tuhan,
melainkan karena pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala
sesuatu yang tidak berasal dan segala penyebab namun tidak memiliki penyebab.
Oleh karena itu menurut filsafat Samkhya, Tuhan tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat
ateisme dalam Hindu tersebut tidak ditemui dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma di Indonesia,
namun ajaran filsafat tersebut (Samkhya) merupakan ajaran filsafat tertua
di India. Ajaran
ateisme dianggap sebagai salah satu sekte oleh umat Hindu Dharma dan tidak
pernah diajarkan di Indonesia.
4. Konsep lainnya
Di
samping mengenal konsep monoteisme, panteisme,
dan ateisme
yang terkenal, para sarjana mengungkapkan bahwa terdapat konsep henoteisme, politeisme,
dan monisme
dalam ajaran agama Hindu yang luas. Ditinjau dari berbagai istilah itu, agama
Hindu paling banyak menjadi objek penelitian yang hasilnya tidak menggambarkan
kesatuan pendapat para Indolog sebagai akibat berbedanya sumber informasi.
Agama
Hindu pada umumnya hanya mengakui sebuah konsep saja, yakni monoteisme.
Menurut pakar agama Hindu, konsep ketuhanan yang banyak terdapat dalam agama
Hindu hanyalah akibat dari sebuah pengamatan yang sama dari para sarjana dan
tidak melihat tubuh agama Hindu secara menyeluruh. Seperti misalnya, agama
Hindu dianggap memiliki konsep politeisme namun konsep politeisme sangat tidak
dianjurkan dalam Agama Hindu Dharma dan bertentangan dengan
ajaran dalam Weda.
Meskipun
banyak pandangan dan konsep Ketuhanan yang diamati dalam Hindu, dan dengan cara
pelaksanaan yang berbeda-beda sebagaimana yang diajarkan dalam Catur Yoga,
yaitu empat jalan untuk mencapai Tuhan, maka semuanya diperbolehkan. Hal ini
sesuai dengan apa yang tertulis di Kitab Bhagawadgita (4:11)
Jalan mana
pun yang ditempuh manusia kepada-Ku, semuanya Aku terima dan Aku beri anugerah
setimpal sesuai dengan penyerahan diri mereka. Semua orang mencariku dengan
berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna).
E. Kitab Suci Agama Hindu
Sebagai
wahyu Tuhan maka Weda disebut Sruti, yang secara harafiah berarti apa yang
didengar, yaitu didengar dari Tuhan. Orang Hindu yakin bahwa kitab Weda bukan
hasil karya manusia. Weda adalah kekal. Weda adalah nafas Tuhan, kebenaran yang
kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan, kepada para Maharesi. Bentuk
apa yang diwahyukan adalah mantra-mantra. Sesudah mantra-mantra dibukukan, lalu
dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu :
1. Reg
Weda, terdiri dari 10.552 mantra. Berisi mantra-mantra
dalam bentuk puji-pujian, yang dipergunakan untuk mengundang para dewa, agar
berkenan hadir pada upacara kurban, yang diadakan bagi mereka. Pendeta yang
menyanyikan puji-pujian itu disebut Hotr (Hotar).
2. Sama
Weda, terdiri dari 1.875 mantra. Isinya hampir sama dengan
Reg Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Reg Weda, ialah bahwa
puji-pujian disini diberi lagu (sama = lagu). Pendeta yang menyanyikan Sama
Weda, disebut Udgatr (Udgatar).
3. Yajur
Weda, terdiri dari 5.987 mantra. Berisi yajus atau rapal,
diucapkan oleh pendeta yang disebut dengan Adwaryu, yaitu pada saat
melaksanakan upacara kurban.
4. Atharwa
Weda, terdiri dari 5.987 mantra. Berisi mantra-mantra
sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan bagian hidup keagamaan, seperti
tampak dalam bentuk sihir dan tenung. Sihir-sihir itu mengandung maksud untuk
menyembuhkan orang sakit, mengusir roh-roh jahat, mencelakakan musuh dan
sebagainya.
Mula-mula
kitab yang terakhir ini tidak diakui sebagai kitab suci, sehingga kitab Reg,
Sama dan Yajur Weda, disebut dengan Trayi Widya. Tetapi lama-kelamaan
diakui juga, karena kepercayaan rakyat sangat kuat sekali kepada kitab Atharwa
Weda. Selain dari pada itu, raja-raja banyak yang mengambil pendeta-pendeta
dari golongan ini, sebagai pendeta istana.
Menilik
nama-nama tempat yang terdapat dalam Reg Weda, dapat diperkirakan bahwa wahyu
ini dikodifikasikan di daerah Punyab sekarang. Nama-nama itu antara lain :
Kubha (Kabul), Studri (Sutley), Suvastu (svat), Kumu (Kurram), Yamuna (Yumna),
Suryanavar (Srinagar), Samudra (hilir sungai Sindhu).
Ketiga
Weda yang lain rupanya dikodifikasikan di daerah Doab (daerah dua aliran
sungai), ialah lembah sungai Gangga dan Yamuna.
Masing-masing
Weda memiliki kitab Brahmana pada umumnya adalah penjelasan tentang bagaimana
mempergunakan mantra, dalam rangkaian upacara. Disamping kitab Brahmana,
kitab-kitab Catur Weda memiliki juga kitab-kitab Aranyaka dan Upanisad. Kitab
Aranyaka sering disebut dengan kitab hutan. Isinya adalah penjelasan-penjelasan
bagian mantra dan Brahmana. Kitab Upanisad merupakan bagian yang sangat penting
dalam hubungannya dengan kitab-kitab Sruti. Upanisad mengandung ajaran suci
untuk : melenyapkan kebodohan (awidya) dan mengantarkan atma mencapai Brahman
(moksa).
Dilihat
dari isinya kitab Brahmana digolongkan dalam Kitab Karma Kandha. Sedangkan
kitab-kitab Upanisad digolongkan Kitab Jnana Kandha. Menurut tradisi kitab
Upanisad seluruhnya berjumlah 108 buah buku. Dua belas diantaranya merupakan
Upanisad yang sangat penting, yaitu : Isa, Kena, Katha, Prasna, Mundaka,
Mandukya, Aiteriya, Taittitiya, Chandogya, Bhrehadaranyaka, Kausitaki dan
Swetaswatara Upanisad.
Daftar
pustaka
Smith, Huston.
1995. Agama-Agama Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Hardono, K. 2006.
Sejarah Kebudayaan Hindu. Salatiga:
Widya Sari
I Ketut Bantas
dan I Nengah Dana. 1992. Pendidikan Agama
Hindu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Pendit, Njoman S.
1967. Aspek-Aspek Agama Kita. Jakarta:
Departemen Agama RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar